Ketua Komnas Perempuan Andy Yentriyani menilai RUU TPKS yang tidak mencantumkan pembahasan tentang pemerkosaan oleh DPR dan pemerintah sebagai sebuah kemunduran


JAKARTA – Tidak dicantumkannya pemerkosaan dalam Rancangan Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (RUU TPKS) karena telah ada di KUHP mendapat kritik dari Komnas Perempuan . Langkah DPR dan pemerintah itu dinilai sebagai sebuah kemunduran. 

“Jika pengaturannya tidak ada dalam RUU TPKS, maka bisa dikatakan para korban pemerkosaan belum terlindungi sepenuhnya dengan keberadaan RUU TPKS itu sendiri meskipun nanti sudah disahkan karena masih harus menunggu pengesahan RUU KUHP,” ujar Ketua Komnas Perempuan Andy Yentriyani ketika dikonfirmasi, Senin (4/4/2022), sebagaimana dikutip Sindonews.com.

Terkait banyak pihak yang melihat tidak dicantumkan sanksi berat untuk pelaku pemerkosaan dalam RUU tersebut maka keberadaan RUU TPKS akan seperti ‘macan ompong’, Andy Yentriyani tidak menampik hal tersebut.

“Kesulitannya memang ini. Karena di saat bersamaan ada RUU KUHP jadi juga banyak pihak menggantungkan soal perbaikan pengaturan tentang (pemerkosaan) ini di revisi KUHP, yang kita belum tau kapan akan diketok, mengingat prosesnya juga bisa berlarut-larut,” jelas Andy. Komnas Perempuan berpendapat sebaiknya pemerintah dan DPR tetap memasukkan terkait pemerkosaan ke dalam RUU TPKS karena menyangkut hal yang sangat esensial demi perlindungan perempuan dan anak yang rentan menjadi korban. 

“Iya, sekurangnya ada pengaturan tentang pemaksaan hubungan seksual yang dapat digunakan sebagai payung sebelum pengaturan lebih lanjut di revisi KUHP,” jelas Andy Yentriyani.

“Karena menunggu pengesahan, dalam banyak kasus memang jadi masalah baru. Misalnya, jika ia dibuat tidak berdaya dalam KUHP akan jadi kasus persetubuhan yang tidak masuk dalam cakupan di RUU TPKS. Kecuali jika korban seorang anak, maka masih bisa akses beberapa kemajuan di RUU TPKS,” pungkasnya. 

Sebagaimana diketahui sebelumnya, Wakil Ketua Badan Legislasi (Baleg) DPR Willy Aditya mengatakan pihaknya menerima usulan pemerintah agar tak adanya tumpang tindih antara rancangan undang-undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (RUU TPKS) dengan peraturan perundang-undangan yang lain. Oleh sebab itu Baleg DPR kata Willy Aditya, pemerkosaan dan aborsi tak dimasukkan ke dalam RUU TPKS.

“Pemerkosaan memang tidak dimasukkan karena penjelasan beliau (Wamenkumham) ada di RKUHP dan yang kedua aborsi itu ada di Undang-Undang Kesehatan,” ujar Willy kepada wartawan di Kompleks Parlemen Senayan, Jakarta, dikutip Senin (4/4/2022).

Berdasarkan penjelasan pemerintah yang diwakili Wakil Menteri Hukum dan HAM (Wamenkumham) Edward Omar Sharif Hiariej, perkosaan tak masuk ke dalam RUU TPKS karena sudah diatur di revisi Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP). Diketahui, dalam Pasal 245 RKUHP dijelaskan, setiap orang yang melakukan perampasan nyawa orang, penganiayaan, perkosaan, perbuatan cabul, pencurian dengan kekerasan, atau perampasan kemerdekaan berdasarkan diskriminasi ras dan etnis, pidana ditambah dengan 1/3 (satu pertiga) dari ancaman pidananya. 

Sementara dalam Pasal 455 RKUHP, pidana penjara paling lama tiga tahun atau pidana denda paling banyak kategori IV adalah setiap orang yang mengancam dengan kekerasan secara terang-terangan dengan tenaga bersama yang dilakukan terhadap orang atau barang, suatu tindak pidana yang mengakibatkan bahaya bagi keamanan umum terhadap orang atau barang, dan perkosaan atau dengan perbuatan cabul. Kemudian, suatu tindak pidana terhadap nyawa orang, penganiayaan berat, dan pembakaran.

“Saya mampu meyakinkan, satu ini (RUU TPKS) tidak akan pernah tumpang tindih dengan RUU KUHP karena kita membuat matriks ketika kita akan menyusun RUU TPKS ini. Dan khusus memang mengenai pemerkosaan itu sudah diatur rinci di dalam RUU KUHP,” kata Edward dalam rapat panitia kerja (Panja) Badan Legislasi (Baleg) DPR, Kamis (31/3/2022) lalu.(*)

By admin

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *